Kajian Literasi: Kode Etik Berdiskusi oleh Ustadz Azwar Abidin, M.Pd.

Senin, 09 Agustus 2021. Nina Ayunia Salbiyah

Kode etik merupakan rambu yang menuntun pada konstruksi argumen bebas cacat pikir. Kode etik juga menunjukkan kedewasaan sikap seseorang Intelektual ketika melakukan interaksi mutual antar sesama.

Prosedur standar kode etik menjelaskan aturan main mendasardari jalannya diskusi. Pada hakikatnya aturan ini tidaklah paten dan kaku. Ringkasnya aturan ini merupakan formalitas dan cara-cara efektif yang selama ini dianggap berhasil menyelesaikan masalah.

Diskusi yang sehat membantu perlakuan adil untuk semua peserta. Hak kebebasan berekspresi hasrus dibarengi standar etis dalam menghargai sesama. Diskusi mengolah ide bukan tentang siapa yang mengutarakannya.

Diskusi melibatkan setidaknya dua peserta dengan ide yang berbeda. Apapun bentuknya, diskusi akan selalau menggembangkan ide sehingga hal ini dapat memastikan ide tersebut berkembang. Masing-masing peserta diskusi harus memastikan diskusi tetap berjalan dengan mematuhi kode etik intelektual berikut:

  1. Memaklumi prinsip falibilitas, Prinsip ini mengandalkan bahwa setiap bentuk pemahaman kita terhadap dunia tidak benar-benar memiliki dasar kebenaran yang tetap, berlaku melainkan universal dan final untuk dijadikan standar baku penilaian dan petunjuk dalam kehidupan manusia.
  2. Prinsip tunduk pada kebenaran, prinsip ini menekankan setiap peserta diskusi tentu menyadari bahwa keterlibatannya pada diskusi itu bersama pihak yang bisa saja berseberangan pendapat antar peserta diskusi adalah untuk menguji kebenaran yang ia yakini. Kesadaran untuk terlibat dalam diskusi menguji kadar toleransi terhadap dua sisi; klaim yang kita pertahankan dan keterbukaan untuk menerima sudut pandang baru yang ditawarkan oleh orang lain. Setiap orang punya hak untuk memertahankan kebenaran yang ia harusnya tak satu pun di antara mereka punya hak untuk memaksakan klaim benar terhadap yang lainnya.
  3. Prinsip bebas ketaksaan, prinsip ini menghasilkan diskusi untuk menyajikan argumen sejelas mungkin dengan menghindari penggunaan istilah taksa dan ambigu.
  4. Prinsip Keterbukaan terhadap koreksi, prinsip cara kerjanya sederhana. artinya peserta yang mengajukan klaim atau pertanyaan juga bertanggungjawab menghadirkan bukti dari pernyataan tersebut. Hal ini menjaga diskusi tetap sehat tanpa harus ada saling lempar tanggungjawab. Jika lawan diskusi mengajukan pertanyaan maka yang ditanya mesti membalas dengan argumen sesuai cakupan dari pertanyaan tersebut dan tidak membalas dengan pertanyaan baru di luar konteks diskusi atau bukan dalam rangka mengonfirmasi/ memperjelas apa yang ditanyakan.
  5. Prinsip tata bangun argumen, prinsip ini berkaitan dengan prinsip yang sebelumnya. Ketika peserta diskusi mengajukan suatu argumen untuk sebuah klaim dan lawan diskusinya ingin memastikannya dengan baik maka lawan diskusi itu boleh mengajukan klarifikasi dan konfirmasi. Nah, jika lawan diskusi mengajukan klarifikasi atau konfirmasi maka peserta diskusi mesti memberikan penjelasan lanjut mengenai argumennya agar lawan diskusi tidak salah memahami apa yang telah disampaikan.
  6. Prinsip tata bangun argumen, prinsip ini menekankan peserta diskusi yang mengajukan argumen harus memastikan standar baku dan struktur bangunan argumentasi agar argumen yang disampaikan memang patut. Dalam artian bahwa argumen tersebut tidak mengalami kontadiksi dengan argumen yang disampaikan sebelumnya.

Referensi :

https://www.kompasiana.com/azwariainkendari4045/61110a8406310e54ef411f42/kode-etik-berdiskusi-bagian-satu?page=4&page_images=1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *